17 Maret 2010

Janji Manis (Politikus) di Saat Kritis

Banjarbaru (17-03-2010).
Tulisan ini diposting pada saat penulis sedang mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Pimpinan Tingkat IV Tahun 2010.
Awal tulisan ini dimulai dari sebuah cerita 2 (dua) orang sahabat yang sedang pergi bersama ke suatu tempat. Ditengah perjalanan, mereka harus melintasi sebuah sungai yang agak dalam, sehingga keduanya harus melintasi sungai tersebut dengan sangat hati-hati.
Sahabat yang pertama dengan kepiawaian dan kelincahannya berhasil melintasi sungai tersebut dan berhasil menyeberang. Namun ketika sahabat yang kedua hampir berhasil melintasi sungai, tiba-tiba kakinya terpeleset. Sahabat yang pertama melintasi pun serta merta membantu menarik sahabat yang kedua. Masih dalam keadaan posisi berpegangan tangan, sahabat kedua (yang terpeleset ) berucap : " Oh, sungguh kawan, aku akan menghadiahi kamu uang yang banyak karena telah menyelamatkan aku ". Seketika itu juga sahabat yang pertama melepaskan pegangannya, dan akhirnya sahabat kedua jatuh ke sungai. Untung saja dia pandai berenang, dan akhirnya dengan perjuangan yang keras mampu sampai ke tujuan. Dia berucap dengan nada marah kepada sahabat pertama : " Mengapa kau melepaskan tanganmu ?". Sahabat yang pertama menjawab : "untuk mengambil hadiahku". Lalu sahabat kedua berkata lagi : " tidak dapatkah kamu bersabar menunggu aku sampai diatas ?". Sahabat yang pertama pun menimpali : "Dan tidak mampukan kamu bersabar hingga sampai diatas dengan selamat, baru kamu mengucapkan janjimu ?"......
Dari ceritera diatas, ada sebuah pesan yang terkandung, yakni : manusia memiliki penyakit yang suka mengobral janji ketika dalam keadaan terjepit. Seseorang akan mau menyerahkan segala yang dia miliki asalkan beban psikologisnya terbebaskan. Ketika dalam keadaan terdesak, manusia lazim (biasa) menawarkan janji-janji yang tidak pernah diucapkan sebelumnya, asal dia dapat terlepas dari keadaan terdesak itu.
Apalagi jika hal itu menyangkut reputasi, harta, atau bahkan jiwa.
Tatkala reputasi terancam, dan ada seseorang yang dapat mengatasinya, seseorang biasanya menawarkan mimpi-mimpi yang indah asalkan reputasi dan prestise anda tidak hancur.
Apakah hal tersebut salah ?.... Tidak... Hal itu sah-sah saja. Yang menjadi persoalan adalah bahwa hal tersebut teramat sering dilakukan oleh seseorang disaat berada diujung tanduk (terancam), namun janji-janji itu lenyap begitu saja tatkala ancaman telah terlewati.
Secara individual, konsekuensi akan hal tersebut tidaklah teramat besar, mungkin hanya akan mengecewakan atau membuat gelisah satu atau beberapa orang saja. Tapi bila secara sosial, hal itu akan berakibat sangat luas dan fatal. Celakanya, hal inilah yang sering (jika tidak ingin dikatakan banyak) dilakukan oleh para elit pejabat dalam dunia POLITIK. Mereka tidak segan menyemaikan janji-janji manis kepada masyarakat awam.
Ketika menjelang PEMILU / PEMILUKADA, para elit POLITIK mau bersusah payah dan berani mengeluarkan dana secara besar-besaran serta mengobral janji-janji kepada masyarakat agar partainya bisa eksis.Namun ketika partainya atau dirinya menang atau naik jadi pemimpin dan orang-orangnya naik jabatan, dengan mudah mereka melupakan janji-janji yang dulu mereka ikrarkan dihadapan orang-orang yang telah mempercayai dan berkomitmen kepada mereka.
Saat ini, kita tentu tidak akan sulit menemukan fenomena semacam ini, dimana seorang bupati / walikota mau bersusah payah mengunjungi sebuah dusun terpencil dan kumuh hanya untuk menghadiri undangan syukuran seorang rakyat jelata demi menjadikan hal itu sebagai ajang kampanye pencalonannya yang kedua. Saat itu, dia sedang berada di akhir masa jabatannya. Ia sedang berada di titik kritis. Ketika itulah ia mengobral agenda-agenda yang menakjubkan dan dapat menghipnotis masyarakat desa yang lugu dengan isyarat dunia POLITIK yang keruh. Hal ini adalah salah satu contoh dalam sebuah tatanan horizontal yakni hubungan manusia dengan manusia. Dalam hubungan vertikal yakni hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta, manusia juga sering berani mengobral janji sewaktu mengalami keterdesakan.
Manusia sering khusyuk berdoa mengutarakan janji-janji ketaatan pada Allah ketika musibah memporak porandakan hidupnya. Dalam berbagai keadaan, lisan, pikiran, perasaan dan jiwa bergema menyenandungkan puja dan pujian kepada Allah SWT dengan penuh harapan agar kesulitan hidupnya diganti dengan kebahagiaan. Bahkan manusia rela berjanji untuk mengabdikan seluruh sisa hidupnya dalam ketaatan kepada Allah SWT asalkan penyakit berganti dengan kesehatan, kesengsaraan berubah menjadi kebahagiaan, dan tangisan berubah jelma menjadi sebuah senyuman. Dalam kondisi seperti itu, manusia benar-benar mampu merasakan makna pengakuan sakral dalam permulaan shalat yang selama senantiasa diucapkan dengan datar saja : "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan kematianku hanya untuk-MU ya Allah Tuhan Semesta Alam".
Potret umum penyakit kebanyakan manusia ini, terpotret jelas dalam Al-Qur'an : "Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada KAMI dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah KAMI hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali melalui jalannya yang sesat, seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada KAMI untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan" (QS. 10:12)
Dalam ayat lainnya disurah yang sama, Al Qur'an mengartikan janji mereka dengan ungkapan : "Sesungguhnya jika ENGKAU menyelematkan kami dari bahaya ini, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur" (QS. 10:22).
Kembali kepada cerita awal dari tulisan ini, secara global setidaknya ada 2 (dua) pesan yang dapat dipetik.
Pertama, bahwa dalam keadaan kondisi / posisi manusia itu kritis dan membutuhkan bantuan orang lain, sebaiknya tidak perlu mengobral-obral janji dan mimpi, karena belum tentu manusia itu dapat menunaikannya. Janji-janji yang diucapkan itu akan mendistorsi niat tulus ikhlas dari orang yang membantu, karena disadari atau tidak, bisa jadi orang yang membantu itu akan tergoda dengan apa yang dijanjikan. Akan lebih baik jika persoalan atau masalah itu diungkapkan dengan terus terang tanpa ada bujuk dan rayuan yang bombastis. Logikanya adalah, bahwa pada saat terdesak itu saja anda membutuhkan orang lain untuk membantu, bagaimana anda dapat memenuhi kebutuhan orang yang akan membantu itu ? Jadi, tuangkan sajalah atmosfer keadaan psikologis anda secara terus terang. Percayalah bahwa, kejujuran anda akan melahirkan kepercayaan orang lain terhadap anda. Bila anda berdusta atau tidak sanggup melaksanakan janji-janji atau komitmen anda, niscaya reputasi dan kepercayaan orang lain terhadap anda akan hancur lebur jadi debu. Konsekuensinya, orang akan sulit lagi mempercayai seseorang yang telah mengingkari janjinya apalagi berkhianat. Dan kosekuensi yang lebih fatal adalah pertanggung jawaban kepada Allah SWT. Boleh jadi anda akan lepas dari sanksi di dunia, namun sanksi diseberang kematian telah menunggu dan anda tidak akan terlepas dari itu.
Pesan Kedua yang dapat dipetik dari cerita tersebut adalah kita sebagai orang yang awam, asahlah nalar berfikir kita. Jangan mudah terbuai oleh janji-janji palsu dari para POLITIKUS yang terjepit dan membutuhkan suara kita. Tanyakanlah kepada HATI NURANI anda sebagai radar internal dalam diri untuk menentukan keputusan yang akan diambil. Jika para POLITIKUS telah demikian tingginya membuai dengan mimpi-mimpi yang tak terbeli, lebih baik kita tanggalkan saja dukungan kepadanya daripada nanti kita akan menyesal, karena saat kita menanggalkan dukungan kepada mereka sebenarnya kita telah meraih kemenangan psikologis. Ketika kita menanggalkan dukungan kita kepada mereka, maka pada saat itu pulalah kita telah mengambil hadiah kita. Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar